Maret, Bulan kelahiranku,
terhitung masih dua bulan lagi. Tapi, nasib mujur ajaibnya datang tiba-tiba.
Tak pernah terpikirkan, saya mendapat
hadiah jalan-jalan dari Pamanku. Besok lusa Ia bersama organisasinya akan
berangkat ke Surabaya dan Jakarta. Siapa yang tak senang. Menolak? Ini akan
jadi tindakan terbodoh dalam hidup anak kampung seperti saya. menilik dari
riwayat perjalanan pun, saya hanya pernah meninggalkan Kampung sejauh Kota
Manado. Saya memang tidak terlalu hobi jalan-jalan, apalagi kalau tidak punya
uang.
Kota pertama yang akan kami
kunjungi adalah Surabaya, kota Doli yang aibnya sudah ditutup rapat. Awalnya
saya mengira akan berangkat lewat udara, nyatanya hanya menggunakan kapal laut
saja. Niat saya sempat urung, Hanya saja saya terlanjur tiba di pelabuhan.
Hitung-hitung jadi pengalaman pertama menaiki Kapal laut, Denpo namanya. Seperti
orang kampung kebanyakan, saya juga takjub untuk hal yang pertama kali saya lihat dan rasakan. Luas ruangan, bising
penumpang dan gemuruh kaki yang berlarian. Faktanya, untuk kelas ekonomi, kita
tidak menempati kamar sesuai nomor yang tertera pada tiket. Kita harus berburu,
siapa cepat dia dapat, siapa telat hilang tempat. Makanya, tak jarang ada di
antaranya hanya bisa tidur di bawah tangga.
Dari Makassar menuju Surabaya
akan menghabiskan waktu tempuh selama 23 jam. Saya sempat khawatir, saya
mungkin akan mati ditikam bosan sebelum sampai di tanah Jawa. Tapi untungnya,
rombongan kami penuh dengan lelaki berkumis, badan tegak berisi, muka garang
tapi punya humor bukan kepalang. Mereka bahkan bergurau layaknya anak SMA yang
pertama kali jatuh cinta. Serunya lagi, di depan kasurku, ada anak kecil yang
imut dan cerewet. Berjam-jam saya memperhatikannya bermain. Kencentilannya membuatku
gemas, aku ingin sekali mencubit pipi Ibunya.
Eh. Ya, kalian tahulah, di balik anak yang cantik ada Ibu yang rupawan.
Kami tiba di Surabaya jelang
siang. Kerabat kami sudah menunggu dan menyiapkan beberapa angkutan umum untuk
membawa kami ke penginapan. Tak disangka, kami akan menginap di kompleks Makam
Sunan Ampel. Komplek itu juga adalah Kampung Arab Surabaya. Tentu gadis-gadis
keturunan arab pun jadi menu pelepas dahaga. Tapi tenang, saya tetap ingat
pesan guru mengaji, tak boleh melihat begitu lama dan jangan berkedip. Hanya
beberapa jam kami beristirahat, kami lalu berpencar untuk jalan-jalan di kota
arek-arek suroboyo ini. Saya hanya mengangguk dan ikut ke mana saja mereka kan
membawaku. Asik. Dompet tipisku tak perlu khawatir.
Mall surabaya, lantainya lebih
banyak dari mall-mall yang ada di kotaku. Selain luas areanya yang akan membuat
orang kampung pusing tujuh keliling. Kalian juga yang pendatang akan mangap tak
paham dengan bahasa yang umum mereka pakai. Bahasa Jawa atau Cina. Untungnya mall
ini penuh abg-abg jelita. Tak perlu kalian pahami apa pembicaraan mereka. Celana
pendek dan bibir merah yang baru mekar ini cukup membuatmu paham jika Surabaya
adalah kota yang cantik nan indah. Jujur, saya sempat menelan ludah beberapa
kali. Inilah mungkin sebab banyak pria-pria dewasa di sana tak terima Doli ditutup begitu saja.
Saya agak kesal, badan tiba-tiba
terasa tidak enak. Saya merasa pusing. Mungkin efek dehidrasi dan kurang
istirahat. Tiba di penginapan pun, semua makanan yang tadi saya telan harus
kumuntahkan. Pun esoknya juga tidak lebih baik. Kondisiku memburuk, ditambah
diare yang menyerangku tiba-tiba. Aku berusaha tegar dan kuat. Jadwal keliling
selanjutnya saya tetap ikut. Celakanya, saya hanya menghabiskan banyak waktu di
toilet Mall. Mencret dari bawah, muntah dari atas. Hingga akhirnya saya sadar,
saya tidak sakit biasa. Di toilet mall, tertempel diagnosa dini tentang
kesehatan kita. Klasifikasi urin berdasarkan warnanya tertera di sana. Sialnya,
warna urin saya ada di level terburuk. Yang besar kemungkinan memiliki penyakit
lebih dari sekadar muntaber. Sayapun gagap sebentar lalu memutuskan kembali ke
penginapan tanpa pamit langsung dan tentu sendiri.
Berangkat malam, tiba pagi. Itu jadwal
yang sungguh menyiksa. Sakit yang tak kunjung membaik dan gerbong kelas ekonomi
yang mengharuskan kita tidur dengan posisi duduk. Untungnya, pamanku mengerti,
Ia rela duduk sempit agar saya bisa membaringkan kepala. Toilet kereta pun
tidak luput dari ritualku, Muntah dan Mencret. Tiba di stasiun senen jakarta,
kondisiku mulai membaik. Kami menaiki kopaja menuju penginapan resmi milik
Pemerintah daerahku. Saya sempat turun berjalan, mencoba bersosialisasi dengan
penjual kaki lima. Karena perut sangat kosong, saya pun memesan semangkok
bakso. Sial, hanya 2-3 kali suapan, saya kembali mual dan segera kembali ke
penginapan. Dan lagi, apa yang kutelan, itu yang kumuntahkan. Kondisiku kembali
memburuk. Kepalaku pusing, aku membaringkan diri dan menutup mata, mencoba
menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca. “Akh, saya ingin pulang saja”,
batinku
Makan malam sudah sedia, saya
diminta makan tapi kutolak. Percuma menurutku. Pasti akan saya muntahkan
kembali. Bukan karena akan menjadi makan malam yang sia-saia. Tapi, sungguh
setiap muntah sakitnya sangat menyiksa. Saya ingin pulang, saya tak sanggup
lagi menahan kata itu dalam batin. Saat kuucap, Pamanku tiba-tiba mengernyitkan
dahi dan menggigit bibir. Tak kusesali, saya pun menelpon kakak sulungku untuk
mengirimkan uang tiket dan menyampaikan saya sakit berat dan ingin pulang.
Meski beberapa teman paman meminta saya untuk kuat dan tak perlu pulang. Saya
menggeleng, niatku bulat. Mereka membujuk dan memintaku untuk periksa terlebih dahulu di
klinik terdekat. Tak enak hati, saya pun mengiyakan.
Klinik terdekat tutup, saya ,
paman dan temannya pun menaiki bajai menuju rumah sakit terdekat. Tiba di sana,
saya pun diarahkan berbaring di ruang tunggu untuk mengisi form administrasi.
Perawat sempat menanyakan kartu BPJS. Pada waktu itu saya belum punya. Perawat kembali
mengingatkan kalau biaya pemeriksaan dan obat tidak gratis. Teman paman
mengiyakan. Dokter pun tiba, ia pun mulai memeriksa seperti cara dokter
kebanyakan. Penuh pertanyaan. Saya kaget saat dokter memberitahu kalau saya kemungkinan
kena penyakit gagal hati. Tapi bingung juga, perasaan saya antara takut dan
ingin tertawa. Bagaimana tidak, baru sebulan lalu saya putus dari pacarku.
Biaya pemeriksaan awal dan obat sebesar Rp. 750.000. Untuk tes darah akan
memakan biaya sebesar Rp. 1.000.000. Saya menolak untuk pemeriksaan lebih
lanjut karena tak punya biaya. Saya meminta pulang dan menyakinkan dokter jika
saya akan dirawat di rumah sakit kampungku. Dokter mengangguk dan membolehkan.
Bulat, tekadku sudah membulat. Saya
harus pulang. Dan untungnya, Kerabat
pamanku telah mengurus tiket pulang kami. Pukul 6 pagi kami akan meniggalkan
Jakarta. Tidurku pun tak nyenyak. Selain karena sakit yang mengganggu, pun saya
seolah menghitung waktu, gelisah, saya tak sabar menunggu. Pukul 5 subuh, saya
dan paman meninggalkan penginapan menggunakan taksi. Saya tahu paman mungkin
kecewa karena tidak sempat menikmati kota Jakarta. Kami pun hanya bisa menatap
kerlap-kerlip lampu gedung-gedung kota, tiba di Bandara dan menunggu jadwal
penerbangan.
Akhirnya saya tiba di rumah
setelah beberapa jam perjalanan. Saya masih layu, dua hari belum mengisi perut.
Dengan kondisi yang menyedihkan ini, saya pun disambut penuh kata sayang. Ya, sayang
seribu sayang, saya pulang sebelum melihat Monas menjulang. Tanpa oleh-oleh dan
kenangan.
***
Labakkang, Desember 2016
0 comments:
Post a Comment