Sunday, December 11, 2016

GoBlog #1 : Tak ada Monas Hari ini

Maret, Bulan kelahiranku, terhitung masih dua bulan lagi. Tapi, nasib mujur ajaibnya datang tiba-tiba. Tak pernah terpikirkan,  saya mendapat hadiah jalan-jalan dari Pamanku. Besok lusa Ia bersama organisasinya akan berangkat ke Surabaya dan Jakarta. Siapa yang tak senang. Menolak? Ini akan jadi tindakan terbodoh dalam hidup anak kampung seperti saya. menilik dari riwayat perjalanan pun, saya hanya pernah meninggalkan Kampung sejauh Kota Manado. Saya memang tidak terlalu hobi jalan-jalan, apalagi kalau tidak punya uang.

Kota pertama yang akan kami kunjungi adalah Surabaya, kota Doli yang aibnya sudah ditutup rapat. Awalnya saya mengira akan berangkat lewat udara, nyatanya hanya menggunakan kapal laut saja. Niat saya sempat urung, Hanya saja saya terlanjur tiba di pelabuhan. Hitung-hitung jadi pengalaman pertama menaiki Kapal laut, Denpo namanya. Seperti orang kampung kebanyakan, saya juga takjub untuk hal yang pertama kali  saya lihat dan rasakan. Luas ruangan, bising penumpang dan gemuruh kaki yang berlarian. Faktanya, untuk kelas ekonomi, kita tidak menempati kamar sesuai nomor yang tertera pada tiket. Kita harus berburu, siapa cepat dia dapat, siapa telat hilang tempat. Makanya, tak jarang ada di antaranya hanya bisa tidur di bawah tangga.

Dari Makassar menuju Surabaya akan menghabiskan waktu tempuh selama 23 jam. Saya sempat khawatir, saya mungkin akan mati ditikam bosan sebelum sampai di tanah Jawa. Tapi untungnya, rombongan kami penuh dengan lelaki berkumis, badan tegak berisi, muka garang tapi punya humor bukan kepalang. Mereka bahkan bergurau layaknya anak SMA yang pertama kali jatuh cinta. Serunya lagi, di depan kasurku, ada anak kecil yang imut dan cerewet. Berjam-jam saya memperhatikannya bermain. Kencentilannya membuatku  gemas, aku ingin sekali mencubit pipi Ibunya. Eh. Ya, kalian tahulah, di balik anak yang cantik ada Ibu yang rupawan.

Kami tiba di Surabaya jelang siang. Kerabat kami sudah menunggu dan menyiapkan beberapa angkutan umum untuk membawa kami ke penginapan. Tak disangka, kami akan menginap di kompleks Makam Sunan Ampel. Komplek itu juga adalah Kampung Arab Surabaya. Tentu gadis-gadis keturunan arab pun jadi menu pelepas dahaga. Tapi tenang, saya tetap ingat pesan guru mengaji, tak boleh melihat begitu lama dan jangan berkedip. Hanya beberapa jam kami beristirahat, kami lalu berpencar untuk jalan-jalan di kota arek-arek suroboyo ini. Saya hanya mengangguk dan ikut ke mana saja mereka kan membawaku. Asik. Dompet tipisku tak perlu khawatir.

Mall surabaya, lantainya lebih banyak dari mall-mall yang ada di kotaku. Selain luas areanya yang akan membuat orang kampung pusing tujuh keliling. Kalian juga yang pendatang akan mangap tak paham dengan bahasa yang umum mereka pakai. Bahasa Jawa atau Cina. Untungnya mall ini penuh abg-abg jelita. Tak perlu kalian pahami apa pembicaraan mereka. Celana pendek dan bibir merah yang baru mekar ini cukup membuatmu paham jika Surabaya adalah kota yang cantik nan indah. Jujur, saya sempat menelan ludah beberapa kali. Inilah mungkin sebab banyak pria-pria dewasa  di sana tak terima Doli ditutup begitu saja.

Saya agak kesal, badan tiba-tiba terasa tidak enak. Saya merasa pusing. Mungkin efek dehidrasi dan kurang istirahat. Tiba di penginapan pun, semua makanan yang tadi saya telan harus kumuntahkan. Pun esoknya juga tidak lebih baik. Kondisiku memburuk, ditambah diare yang menyerangku tiba-tiba. Aku berusaha tegar dan kuat. Jadwal keliling selanjutnya saya tetap ikut. Celakanya, saya hanya menghabiskan banyak waktu di toilet Mall. Mencret dari bawah, muntah dari atas. Hingga akhirnya saya sadar, saya tidak sakit biasa. Di toilet mall, tertempel diagnosa dini tentang kesehatan kita. Klasifikasi urin berdasarkan warnanya tertera di sana. Sialnya, warna urin saya ada di level terburuk. Yang besar kemungkinan memiliki penyakit lebih dari sekadar muntaber. Sayapun gagap sebentar lalu memutuskan kembali ke penginapan tanpa pamit langsung dan tentu sendiri.

Sambil menahan diare, saya pun gegas menyebrang jalan. Mencoba bertanya pada orang tentang rute menuju kompleks Sunan Ampel. Tidak beda jauh dengan kotaku, Tiap kaca depan angkutan tertera rute dan tujuannya. Tak perlu ragu lagi, saya pulang dan tidur tenang di penginapan. Sejam berlalu, kondisiku belum membaik. Padahal, malam ini kami akan meninggalkan Surabaya menuju Batavia, nama tua kota Jakarta. Menggunakan Kereta Api, saya harus siap 11 Jam perjalanan yang membelah kepulauan Jawa.

Berangkat malam, tiba pagi. Itu jadwal yang sungguh menyiksa. Sakit yang tak kunjung membaik dan gerbong kelas ekonomi yang mengharuskan kita tidur dengan posisi duduk. Untungnya, pamanku mengerti, Ia rela duduk sempit agar saya bisa membaringkan kepala. Toilet kereta pun tidak luput dari ritualku, Muntah dan Mencret. Tiba di stasiun senen jakarta, kondisiku mulai membaik. Kami menaiki kopaja menuju penginapan resmi milik Pemerintah daerahku. Saya sempat turun berjalan, mencoba bersosialisasi dengan penjual kaki lima. Karena perut sangat kosong, saya pun memesan semangkok bakso. Sial, hanya 2-3 kali suapan, saya kembali mual dan segera kembali ke penginapan. Dan lagi, apa yang kutelan, itu yang kumuntahkan. Kondisiku kembali memburuk. Kepalaku pusing, aku membaringkan diri dan menutup mata, mencoba menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca. “Akh, saya ingin pulang saja”, batinku

Makan malam sudah sedia, saya diminta makan tapi kutolak. Percuma menurutku. Pasti akan saya muntahkan kembali. Bukan karena akan menjadi makan malam yang sia-saia. Tapi, sungguh setiap muntah sakitnya sangat menyiksa. Saya ingin pulang, saya tak sanggup lagi menahan kata itu dalam batin. Saat kuucap, Pamanku tiba-tiba mengernyitkan dahi dan menggigit bibir. Tak kusesali, saya pun menelpon kakak sulungku untuk mengirimkan uang tiket dan menyampaikan saya sakit berat dan ingin pulang. Meski beberapa teman paman meminta saya untuk kuat dan tak perlu pulang. Saya menggeleng, niatku bulat. Mereka membujuk  dan memintaku untuk periksa terlebih dahulu di klinik terdekat. Tak enak hati, saya pun mengiyakan.

Klinik terdekat tutup, saya , paman dan temannya pun menaiki bajai menuju rumah sakit terdekat. Tiba di sana, saya pun diarahkan berbaring di ruang tunggu untuk mengisi form administrasi. Perawat sempat menanyakan kartu BPJS. Pada waktu itu saya belum punya. Perawat kembali mengingatkan kalau biaya pemeriksaan dan obat tidak gratis. Teman paman mengiyakan. Dokter pun tiba, ia pun mulai memeriksa seperti cara dokter kebanyakan. Penuh pertanyaan. Saya kaget saat dokter memberitahu kalau saya kemungkinan kena penyakit gagal hati. Tapi bingung juga, perasaan saya antara takut dan ingin tertawa. Bagaimana tidak, baru sebulan lalu saya putus dari pacarku. Biaya pemeriksaan awal dan obat sebesar Rp. 750.000. Untuk tes darah akan memakan biaya sebesar Rp. 1.000.000. Saya menolak untuk pemeriksaan lebih lanjut karena tak punya biaya. Saya meminta pulang dan menyakinkan dokter jika saya akan dirawat di rumah sakit kampungku. Dokter mengangguk dan membolehkan.

Bulat, tekadku sudah membulat. Saya harus pulang. Dan untungnya,  Kerabat pamanku telah mengurus tiket pulang kami. Pukul 6 pagi kami akan meniggalkan Jakarta. Tidurku pun tak nyenyak. Selain karena sakit yang mengganggu, pun saya seolah menghitung waktu, gelisah, saya tak sabar menunggu. Pukul 5 subuh, saya dan paman meninggalkan penginapan menggunakan taksi. Saya tahu paman mungkin kecewa karena tidak sempat menikmati kota Jakarta. Kami pun hanya bisa menatap kerlap-kerlip lampu gedung-gedung kota, tiba di Bandara dan menunggu jadwal penerbangan.

Akhirnya saya tiba di rumah setelah beberapa jam perjalanan. Saya masih layu, dua hari belum mengisi perut. Dengan kondisi yang menyedihkan ini, saya pun disambut penuh kata sayang. Ya, sayang seribu sayang, saya pulang sebelum melihat Monas menjulang. Tanpa oleh-oleh dan kenangan.
***
Labakkang, Desember 2016
Share:

0 comments:

Post a Comment