Monday, December 12, 2016

Manusia Longga

Hujan masih mengguyur deras kota Belopa, dingin nampaknya mampu menembus kaca riben mobil yang ditumpangi Samsul. Suasana mobil amat beku, hanya radio yang terus bernyanyi dari lagu ke lagu. Tahir, mertua samsul juga sedang menikmati tidur siangnya. Lelaki tua ini yang punya usul untuk menembus dinginnya kota belopa. Samsul, sebagai menantu yang baik, tak bisa menolak permintaan mertuanya.
“kurang sejam lagi kita sampai wa’,” tegas Mail, orang yang juga terperangkap iming-imingan Tahir. Gegas Tahir terjaga dari mimpinya, mungkin mimpi indah bersama Opu.

Rumah dari kayu hitam itu berdiri kokoh menatap tajam ke jalan, Tahir bersama rombongan turun dan gegas menyambut tangan Opu yang berjalan tertatih, usia senja memaksanya harus menghitung langkah sambil memegangi punggung. 
“Dekat kan, Pak Tahir !” sindir Opu dengan senyum usangnya.
Mereka pun teratur menaiki rumah panggung milik Opu. Rupanya, beberapa ‘air panas’ sedari tadi menunggu, asap tipis seakan menyihir tenggorokan mereka. Tak lama, Sapar, adik dari samsul menyeruput kopi hitam tanpa ijin. Tingkahnya disambut tawa kecil Opu dan istrinya.
“Ini pusaka yang kumaksud,” ucap lirih Opu kepada tetamunya.
Tahir bersama rombongan takjub. Mereka akhirnya melihat langsung pusaka yang selama ini mereka cari-cari. Opu masih dengan lirih menceritakan sejarah pusaka itu. Mereka terus terpesona, wajah mereka seolah tersirat rasa ingin memilikinya segera. 

Perbincangan hanya sejam, Opu segera meraih barang bawaannya, dia lalu menyambut tangan istri lalu pamit ikut rombongan tahir menuju Labakkang. Hujan tiba-tiba kian menderas, seolah isyarat untuk menahan langkah Opu yang untuk pertama kalinya meninggalkan Belopa. Di perjalanan Opu beku tanpa kata, hanya senyum tipis kala saling bertatap dengan Tahir. Kedua tangannya tak pernah lepas merangkul tas bawaannya. Matanya terjaga dan awas ke tiap orang dalam mobil.
*

Pagi sangat dingin di Labakkang, walau tak hujan sekalipun. Opu masih nyenyak dengan tidurnya. Tahir sudah sibuk menjamu tetamunya. Mereka kelompok yang dari dulu berburu pusaka. Mereka sesekali menatap Opu, Nampak dari raut wajah mereka, keinginan untuk melihat pusaka Opu. Samsul berusaha membangunkan Opu. 
“Puang, Bangun. Sarapan sudah sedia,” ucapnya pelan dan gugup.
Opu terjaga, nampaknya sedari tadi dia sudah bangun dan menguping pembicaraan tetamu. Masih menaruh curiga, Opu tetap waspada kepada setiap orang.

Pagi melengser jauh, malam menyambut. Rasa bosan menumpuk di dada Opu, dia menghabiskan waktu di rumah samsul, menyambut tamu, dan menjawab ratusan pertanyaan. Waktu sudah menunjuk pukul 01.00, Opu tetap terjaga, benda pusaka tetap dalam dekapannya. Dia takut kalau saja ada yang berniat mencuri pusakanya. Separuh malam Opu habiskan terbaring penuh menung.
*

Opu kecil berlari ketakutan menembus malam yang hening, dia sendiri, sepulang dari mengaji.
“Longga….Bapak….Longga,” teriaknya .
Bapak Opu segera menyambut, dengan badik digenggamannya. Tanpa basa basi, bapak Opu melompat dan menghunuskan badik tepat di kepala Longga itu. Opu kecil takjub melihat bapaknya menaklukkan hantu raksasa itu. Longga menghilang, Bapak Opu muncul dari kegegelapan tanpa luka sedikitpun.
“Ini pusaka Longga, Nak. Simpan dan jangan berikan kepada siapapun.” Pesan Bapak Opu.
Bapak Opu pun lalu menghilang, Opu kecil pun menangis tersedu sembari mencari bapaknya.
*

Cahaya pagi merinsek masuk melalui lubang atap rumah samsul. Opu bangun, menghapus sisa air matanya. Mimpi semalam membuat luka rindu akan bapaknya kembali menganga. Pusaka itu diberikan oleh bapaknya sebelum meninggal dunia. 
Opu masih terperangkap lamunan rindu dan beban wasiat bapaknya. Besok, sesuai perjanjian, ijab Kabul pusakanya akan dilaksankan. Walau sebenarnya masih ada yang mengganjal pikiran Opu. Tapi di sisi lain, Opu tak ingin wafat dan hanya mewariskan pusaka Longga kepada anaknya. Niatnya, hasil penjualannya akan dia belikan tanah dan sawah untuk anak semata wayangnya.

Tahir sibuk membagi persen jatah tiap orang yang terlibat dengan penjualan pusaka milik Opu. Opu hanya diam mengangguk setuju. Pikirannya hanya tertuju pada sebidang tanah dan sepetak sawah untuk anaknya. Berapapun keuntungan lain yang diperoleh oleh tahir dan kelompoknya dia abaikan. 
Dua jam berlalu, Pembeli belum kunjung datang. Membuat semua orang bingung dan panik. Opu masih saja beku dan mendekap erat pusaka di dadanya. Satu per satu anggota tahir pamit pulang dengan berbagai alasan. Hasrat mereka akan uang seolah sirna. 

Malam tiba, ijab Kabul batal tanpa konfirmasi apapun dan dari siapapun. Tahir digerogoti kecewa yang dalam. Opu termenung, mimpinya mulai memudar dari matanya. Seribu tanya seolah menghujam kepala tahir, dia pun takut untuk berbicara kepada Opu.
“Besok pagi antar Opu pulang, Nak!” pinta Opu pada tahir.
Tahir pun tak sanggup menjawab banyak. Dia mengiyakan lalu merinsek masuk ke kamar dan menutup malam. Opu kembali termenung, terus mendekap erat pusakanya. Ia sedih, pada akhirnya juga, hanya pusaka ini yang bisa diwariskan ke istri dan anaknya.
*

Opu berlari ketakutan menembus malam yang hening.
“Longga…Nak…Longga!” teriaknya lirih.
Tak ada yang datang menolong, Opu digenggam erat oleh Longga. Tak lagi mampu berteriak, Opu menangis penuh takut.
Anak Opu tiba-tiba menyambut, dengan badik digenggamannya. Tanpa basa basi, Anak Opu melompat dan menghunuskan badik tepat ke kepala Longga itu. Opu takjub melihat anaknya menaklukkan hantu raksasa itu. Longga menghilang, Anak Opu muncul dari kegegelapan tanpa luka sedikitpun. Opu menangis, dia kemudian menyerahkan pusaka itu kepada anaknya.
“Jagalah , Nak !”
*

Pagi amat dingin di Labakkang, hujan deras juga mengguyur . Opu nampak nyenyak dengan tidurnya. Tahir sudah sibuk menjamu tetamunya. Mereka sesekali menatap Opu, Nampak dari raut wajah mereka, keinginan untuk melihat pusaka Opu. Samsul berusaha membangunkan Opu. 
“Puang, Bangun. Sarapan sudah sedia,” ucapnya pelan dan gugup.
Opu tak menyambut, Samsul takut. Tubuh Opu dingin dan kaku. Semua terhenyak, manusia Longga telah tiada. 
***
Labakkang, Maret 2015

Share:

0 comments:

Post a Comment