Thursday, February 09, 2017

Malaikat Kematian

Selamat dari kematian adalah mukjizat besar dalam hidupku. Meskipun kedua kakiku lumpuh, aku tetap bersyukur, tetap menghargai kesempatanku. Sebulan koma juga membuatku lemah dan tak kuat mengingat-ingat masa laluku.
“Bagaimana tidurmu semalam, Nak? Tanya ibuku
“Seperti sebelumnya, Bu. Aku masih terus bermimpi buruk.”
Selama sembuh dari koma, tiap malam aku mengalami mimpi buruk. Sangat buruk. Sesosok bayangan hitam mengejar-ngejarku. Tangan kanannya membawa pedang yang sangat panjang, tajam, mampu memenggal kepalaku dengan hanya sekali kibasan. Tangan kirinya menggenggam rantai besi yang begitu kuat, sekuat baja. Dugaanku, rantai itu untuk dililitkan ke badanku. Akh...mimpi itu yang terus terulang.
Aku sudah memeriksakan diri ke psikiater. Dan jawabya sederhana, aku mengalami trauma. Sudah hal wajar jika seseorang yang selamat dari kecelekaan mengalami trauma. Pun terkadang aku merasa ingin mati saja jika aku tak kuat menghadapi tekanan ini.
Sadar bahwa aku selamat dari kecelakaan seorang diri juga membuatku semakin depresi. Aku selalu merasa aku lari dari kematian yang sudah digariskan oleh Tuhan. Bagaimana tidak, kecelakaan yang memakan korban 20 orang itu hanya aku yang selamat. Aku senang bisa selamat. Tapi tekanan jiwa masih saja mendekapku. Dan kupikir sosok yang kumimpikan itu adalah malaikat maut yang seharusnya telah mencabut ruhku.
***
Tugu Kabut Hitam adalah tugu yang dibangun oleh keluarga seluruh korban tepat di lokasi kejadian. Ini dibuat untuk mengenang korban kejadian tragis ini. Tiap akhir pekan aku menyempatkan diri mengunjunginya. Membawakan karangan bunga dan membacakan doa-doa. Hal ini kulakukan secara sembunyi-sembunyi. Ini dikarenakan anjuran psikiater priadiku untuk melupakan masa kelam itu dengan tidak lagi memikirkan hal yang berhubungan dengan kejadian ini.
“Kau senang? Kau pikir kau akan tenang? Kau yang seharusnya mati, dan anakku yang seharusnya hidup! “ teriak salah seorang ibu korban.
Tiap bertemu dengannya, tiap kali itu juga dia meneriakkan kalimat itu. Menurutnya, anaknya lah yang pantas hidup bukan malah aku. Ya, banyak orang yang tak mengingikan aku yang selamat. Aku seorang pecandu, aku juga mantan napi, dulu aku dipenjara karena memperkosa teman kampusku. Itu sudah lama berlalu. Namun, setelah lepas dari masa tahanan. Benak orang-orang masih mencapku bajingan. Hal ini membuatku semakin tertekan. Aku tak tahu apa maksud Tuhan yang membiarkan aku tetap hidup.
Sering juga kudapati seorang gadis kecil menangis di depan tugu itu, namun saat aku mendekat, dia lari penuh ketakutan. Menurut kabar yang kudapat, dia adalah adik dari salah seorang korban pada kecelakaan. Entah karena anak itu tahu identitasku, hingga dia menghindariku.
***
“Akh… .”
Nafasku tersengal-sengal, aku mimpi buruk lagi, kali ini bukan hanya sesosok bayangan yang mengejarku, sekitar 10 atau lebih sosok bayangan hitam ingin menangkapku. Aku yang tak mampu berjalan pun harus menrangkak, sungguh mimpi ini menyiksaku.
“Nak, kudengar semalam kau teriak minta tolong kepada anak kecil, kau mimpi burukku lagi? Tanya ibuku.
Dalam mimpiku, aku bertemu dengan gadis kecil itu, aku yang terkulai lemah dan digerogoti puluhan bayangan hitam, meminta tolong kepada dia. Namun, dia tak mengacuhkanku, dia tetap membiarkan aku dipukuli. Sebelum terbangun, sempat kudengar dia berkata kalau akulah yang seharusnya mati, dan kakaknya lah yang harus hidup. Sepertinya, dampak trauma masih berlanjut. Dan ternyata bukan hanya satu atau dua orang saja yang tak terima aku selamat.
“kau yang seharusnya mati,” kata itu selalu terngiang di telingaku. Aku semakin tak tenang, amarahku membuncah. Sungguh aku tak tahan lagi menahan tekanan ini. Aku seolah ingin bunuh diri saja. Tapi, aku juga takut mati. Aku takut menyia-nyiakan hidup ini.
***
Aku berjalan lunglai sehabis kuliah, baru saja mengkonsumsi obat-obat terlarang. Dipemberhentian bus, aku duduk bersama teman kampusku menunggu bus. Mataku sayup, aku menikmati penantianku.
“Hei Nak, kamu mau naik atau tidak? Teriak kernet bus kepadaku.
Pengaruh obat-obatan mulai melemahkan otakku. Akupun segera menaiki bus dan mencari tempat duduk. Kupilih tempat duduk dekat jendela.
“Hei, itu tempat duduk untukku, Bro! teriak salah seorang penumpang.
Karena aku tak sanggup lagi berdiri, aku tetap bersikeras untuk tidak pindah, kamipun sempat beradu mulut, dan bahkan satu pukulan sempat menghantam wajahku. Aku jadi kalap, kupaksa diriku berdiri dan membalas memukulnya berulang kali hingga kernet bus melerai. Dan kernet bus membiarkanku tetap duduk di tempat semula. Dia yang tak terima terus mengomel sembari diarahkan ke tempat duduk yang lain. tak berselang lama, aku yang sudah setengah sadar melihat busku terbalik dan orang-orang terpelanting dari tempat duduknya. Awalnya kupikir itu hanya pengaruh obat. Tenyata mobil menabrak benda, lalu tak terkontrol, kemudian terguling-guling hingga ke jurang.
***
Nafasku tersengal- sengal, aku baru saja mimpi buruk lagi, mimpi yang sama. Anak itu terus berkata jika akulah yang pantas mati.
Aku sadar, malam ini aku sendiri. Ibu harus ke keluar kota karena tuntutan pekerjaan. Demi biaya pengobatanku, ibu rela bekerja full time. Rumah tampak sangat sepi, ditambah gelap gulita, hanya bias cahaya bulan yang memberi sedikit cahaya. Aku melajukan kursi rodaku menuju dapur. aku mencoaba mencari makan untuk mengisi perutku.
Jendela dapur terbuka, angin malam bertiup kencang dan dinginnya menggigit tulangku. Ibu mungkin lupa menutupnya.
“Ada bekas telapak kaki,” aku kaget setelah melihat jejak kaki di lantai. Kulebarkan mata dan melototi seluruh ruang. Tapi karena gelap aku tak bisa memastikan bila ada orang yang mengendap-ngendap memasuki rumahku. Aku pun segera ke rak-rak dapur. namun…., gawat….tak ada satupun pisau dapur, seseorang telah mengambilnya. Aku segera melajukan kursi rodaku menuju kamar. Tiba-tiba roda kursiku tersandung benda, akupun terpelanting jauh ke depan. Saat menoleh ke arah kursi, kulihat ada puluhan orang membawa pisau, mencoba menghampiriku. Aku takut, aku terpaksa merengkak menuju kamar. Nafasku tersengal-sengal, kedua lenganku mulai leith. Aku tak sanggup lagi merangkak. Akh… siapa mereka, kenapa mereka ingin membunuhku.
Aku terus merangkak, kumenoleh ke arah mereka, kulihat seorang dari mereka melompatiku. Dia memegang kedua kakiku. Aku tak mampu mengelak. Yang lainnya mulai mendekatiku. Tamat. Aku aku akan tamat malam ini. Satu, dua sampai lima pisau bergantian menusuk badanku. Mati, aku mati malam ini. Nafasku sudah berat. Wajahku memucat. Mereka terus saja menusukku berulang kali. Aku tak tahu harus berbuat apa. Suaraku habis. Aku tak mampu meminta tolong. Tak lama kemudian, seorang anak kecil dengan pisau di tangannya mendekatiku dan berkata kalau akulah yang seharusnya mati sebelum pisaunya dia tancapkan tepat di dadaku. Pandanganku mulai gelap. Aku kehabisan banyak darah. Pikirku mereka adalah malaikat yang selama ini mengejar-ngejarku. Tuhan…..kenapa aku harus mati begini. Kenapa?
***
Makassar, 9 November 2013

Share:

0 comments:

Post a Comment