Monday, December 12, 2016

Sepotong Hati dari Surga

Siang sudah memuncak namun matahari masih bersembunyi di balik mendung. Hari ini hujan, hujan yang luruh begitu syahdu. Terdengar samar diskusi bapak dan Haji Syamsul di antara rinai. Aji, sapaan Haji Syamsul, masih tetangga kampung dengan kami. Aji seorang pengusaha gorong-gorong, juga seorang duda beranak enam. Hari ini Aji hendak melamarku. Aku dan adikku yang bersembunyi dalam kamar, terus menguping pembicaraan mereka. Senang. Hati siapa yang tak senang jika tahu dirinya akan dilamar dan segera menikah. Meski kusadari Aji seorang duda, aku tetap senang. Usiaku sudah mencapai kepala tiga, adikku satu-satunya sudah bersuami dan memiliki seorang putra. Aku tak punya alasan lagi untuk menolak. Ini kesempatan emas untuk memiliki suami dan bahkan anak.

“Hei, apa yang kalian lakukan, Nak?” Sambar ibuku saat memergoki kami sedang menguping.
Kami kaget. tak menjawab, kami segera melepas kuping dari dinding triplek kamarku.
“Bagaimana, Nak. Kamu mau menerima lamaran Aji?” Tanya ibu penuh harap.
Aku sejenak diam lalu memandang adikku. Dia tersenyum. Dan tanpa pikir panjang, aku manggut mengiyakan lamaran itu.

Waktu bergeser dari hari ke hari, minggu ke minggu hingga tibalah hari pernikahanku. Ucapan selamat silih berganti berdatangan dari sanak keluarga. Mereka senang akan keputusanku. Namun, degup ragu kembali berdetak kencang dalam dada. Ragam resah mulai bermuculan. Aku takut, nantinya aku tak bisa menjadi istri yang baik bagi Aji pun menjadi ibu yang baik pula bagi anak-anaknya. Kemarin saja, tetangga mulai membicarakanku. Malah kudengar sendiri, jika aku dituduh selingkuhan Aji saat istrinya sakit. Bukan hanya itu, tersiar kabar kalau aku tamak akan harta Aji dan kejam kepada anak-anaknya. Walau itu tuduhan yang lazim bagi ibu tiri, aku tetap merasa risau.
“Ada apa, Kak?” Tegur adikku memecah lamunanku.
Mulutku terkancing. Aku bisu. Aku hanya mampu meneteskan air mata. Seolah mengerti apa maksudku, adikku segera memelukku dan mencoba menopang semangatku yang mulai runtuh.
“Jangan dengar perkataan orang lain, Kak!” Bisiknya penuh hangat.
“Selama Kakak melakukan yang baik, itu berarti mereka salah dalam menilai.” Lanjutnya terus mendekap kegelisahanku. Aku pun menyeka air mata lalu menampakkan wajah sejuta senyum bahagia. Karena adikku, niatku sudah bulat. Aku siap melenggang ke hidup yang baru. Menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluargaku.

Waktu terus berputar. Tahun-tahun kebahagian terus kulalui bersama Aji  dan anak-anaknya. Walau sedikit berat hati harus berpisah dengan keluargaku. Juga keluarga dari almahrum istri Aji, yang seolah masih tidak terima keputusan Aji menikahiku. Yang menjadi korban kerenggangan keluarga Aji tentu saja adalah anak-anaknya. Mereka seolah tak diperdulikan lagi oleh keluarga dari ibunya. Mereka belum cukup dewasa untuk memahami gejolak keluarga yang terjadi. Sungguh haru itu yang mesti kami jalani dari tahun ke tahun.
*

Sepuluh tahun sudah usia pernikahanku dengan Aji. Namun, aku belum mengaruniakannya seorang anak. Hati siapa yang tak sesak jika impian menggendong seorang anak dari darah daging sendiri belum tercapai. Kami sudah berobat ke mana-mana. Dari pengobatan medis hingga pangobatan alternatif yang sedikit magis. Ini aku lakukan sesuai saran Umming, ibu mertuaku. Mungkin bagi Aji memiliki anak bukan lagi impiannya. Apalagi dia sudah memilik 6 anak dari almahrum istrinya. 
“Yang tabah ya, Ma!” bisik Aji 
Setiap malam, sebelum tidur, kami hanya membahas masalah anak. Beban yang kupikul tiap hari ini pun terasa berat. Tapi, Aji begitu tahu cara untuk menenangkan jiwaku. 
“Mungkin Aji yang sudah tua, Ma!” Ucapnya menutup malamku yang sesak

Matahari pagi menyinsing, kami kembali ke aktivitas sehari-hari. Aji sibuk membuat gorong-gorong bersama pekerjanya, anak-anak berangkat ke sekolah. Aku sibuk di dapur bersama Umming.
“Bagaimana Nak, sudah berobat ke Mak Biya?” Selidik ibu mertuaku
Aku menggelengkan kepala lalu menunduk membisu. Umming masih saja menyarankan berobat ke sana ke mari. Padahal, aku dan Aji sudah memasrahkannya ke pada Tuhan. Aku juga tak berani membantah permintaan Umming. Aku memilih diam saja. Mungkin Umming hanya ingin aku merasakan kebahagian seorang ibu yang memiliki anak dari rahimnya sendiri. Umming terus menatapku. Aku tetap memilih membisu.

Waktu begitu cepat berlalu, malam kini menjemput kembali diriku bersama sesak-sesak yang menghuni dada. Tak dapat kutepis keinginan memiliki seorang anak. Setiap kali aku melamuni takdir, Aji selalu hadir menabahkan hatiku. Tapi kali ini Aji murung. Entah itu karena penghasilan gorong-gorong yang mulai menurun, ataukah beliau juga menginginkan seorang anak dari rahimku. Entah. Aji tak bicara. Aji juga ikut membisu. Saat kutanya, Aji hanya melempar senyum hambar padaku.
“Ma, besok kita ke Mak Biya untuk berobat!” Ucapnya pelan tanpa menatapku
Aku kaget. Untuk pertama kalinya Aji memintaku seperti itu. Selama ini Aji yang selalu menenangkan kegelisahanku. Tapi, kini Aji ikut menambah beban di pundakku. Sesak itu semakin membengkak dalam dada. 

Malam ini aku tak mampu memejamkan mata. Ajakan Aji tadi membuatku semakin tertekan. Ke mana Aji yang dulu. Apakah hanya sebatas ini kesabarannya?. Aku gelisah. Aku gamang. Tapi, juga tak dapat kusalahkan Aji. sepuluh tahun adalah waktu yang lama untuk kami bersabar. Wajar jika Aji mulai mempertanyakan. “Tuhan, sudah kupasrahkan hidupku padamu”. Batinku bergejolak. Haruskah aku kembali berobat ke sana ke mari. Berobat kepada dukun. Akh…tidak, itu jalan sesat. Mempercayai dukun sama saja menduakan Tuhan.
Anak-anak berangkat ke sekolah, Umming sudah sibuk di dapur. aku masih memilih mengurung diri dalam kamar. Semalam aku tak tidur memikirkan permintaan Umming dan Aji. Aku tak mau kembali berobat ke dukun. Jika ke dokter aku mau. Tapi Aji tak akan mau. Katanya, ke dokter perlu banyak biaya dan ujung-ujungnya tak ada perubahan.
“Ma, Bangun! Aji sudah siap ke Mak Biya,” teriak Aji dari luar
Aku bergeming. Aku tetap berdiam diri di atas kasur. Aku sudah bertekad, aku tak akan ke dukun lagi. Biarlah Aji marah atau bahkan membenciku. Yang terpenting, aku tak mau lagi terjerumus dalam kesesatan.

Tiba-tiba Aji berdiri tepat di depanku. Wajahnya memerah. Matanya melas memohon aku bangun. Kali ini Aji begitu berharap aku  berobat. Disusul Umming, yang juga mendesakku. Aku menolak. Aku tahu sifat Aji, dia tak akan sampai hati memaksaku. Aji kembali membisu seperti semalam. Lalu beranjak pergi entah ke mana. Umming tetap mendesakku. Malah menyalahkanku. Tapi aku tetap menampiknya. Sesak-sesak kembali mengisi rongga dadaku. Kali ini lebih sesak karena Aji tak lagi menopangku.
*

Seminggu ini aku tak bisa tidur nyenyak. Aji selalu pulang larut malam. Alasannya mengurus bisnis gorong-gorong. Umming juga sudah seminggu tak bicara padaku. Aku tak tahu harus bicara kepada siapa. Kepada anak-anak tak mungkin. Mereka belum cukup dewasa untuk urusan ini. Apalagi, mereka bukan anak kandungku. Belum lagi masalah keluarga kemarin, yang membuat mereka tak lagi dihargai oleh neneknya. Akh…aku merasa jadi biang keladi semua masalah. Andai saja aku tak menerima lamaran Aji. Walau beresiko menjadi perawan tua, itu lebih baik dari pada menjadi musabab masalah keluarga Aji.

Hari ini Aji berangkat keluar kota, hendak mengurus lahan Umming yang lagi sengketa. 
“Saya pergi cuma dua hari, besok lusa Saya sudah kembali.” Pamit Aji kepada ibunya.
Kali ini aku seolah tidak diacuhkan lagi. Sebelum pergi, Aji tak pamit sepatah kata pun padaku. Mungkin karena aku menolak permintaannya untuk berobat. Entah. Aku juga tak tahu apa yang Aji pikirkan. Aji berubah total. Tadinya, dialah tempatku menyandarkan segala beban yang kupikul. Sekarang, terasa asing berada di sisinya.

Gelisah kian menyesakkanku. Ya, sesak-sesak itu kembali menyelimutiku. Aku mulai tak nyaman di rumah ini. Tak ada Aji, juga Umming belum kunjung mau bicara denganku. Aku juga tak berani kembali ke rumah bapakku tanpa ijin suami. Kalau aku pulang tanpa pamit, masalah akan tambah runyam. Malam ini, seharusnya Aji menelpon untuk menyampaikan kabar. Sudah kucoba untuk menghubungi hapenya tapi tak kunjung dijawab. Aku khawatir, terjadi hal buruk padanya.
“Ma, Bapak Aji sudah sampai magrib tadi.” Teriak anak bungsu Aji.
Sedikit lega mendengarnya. Tapi, di lain sisi ini sungguh menyakitkan. Aji tak menghubungiku secara langsung.  Aji mungkin masih marah akan penolakanku dulu.
Tiga hari berlalu, Aji belum juga pulang.  Pun, tak memberi kabar kepadaku, Umming atau anak-anaknya. Aku mencoba menghubunginya. Tapi nomor hapenya tak aktif. Kuhubungi keluarga di sana, juga mereka tak tahu. Mereka hanya mengiyakan kalau Aji sudah pulang kemarin. Ke mana aji pergi? Ke mana? Kenapa Aji  tak memberi kabar. Semarah itukah Aji kepadaku? Gelisahku semakin menjadi-jadi.

Aku masih termenung di depan telepon rumah. Menunggunya berdering. Aku takut, Aji kena musibah di jalan.
“Jangan khawatir, Aji akan baik-baik saja.” Bisik Umming sambil mendekapku.
Air mata pun jatuh tak tertahan. Mengalir begitu banyak. Aku tertegun dan masih menunggu.
*

Tidak di pasar, tidak di depan rumah, tetangga sibuk bergosip tentang Aji. Banyak yang bilang kalau Aji pergi dengan wanita lain. Ada yang melihatnya naik satu mobil dengan wanita di terminal. Ada juga yang bilang, kalau Aji berboncengan dengan wanita itu. Aku tak peduli. Aku tak percaya Aji melakukannyan. Namun, gosip ini semakin heboh diperbincangkan. Kemarin, Aco, supir angkut yang mengantar Aji-memang bilang kepadaku, kalau Aji berangkat bersama seorang gadis. Dia pikir itu keluarga Aji. Jadi, Aco diam-diam saja selama ini. Mendengar perkataan Aco, membuat orang sekampung semakin riuh membicarakan keluarga kami. Orang-orang bahkan tak lagi memperdulikan aku ada atau tidak di dekat mereka. Mereka tetap membahasnya lugas sampai tuntas. Bahkan ada yang menuding kalau Aji  mau menikah lagi karena aku tak bisa memberinya anak. Aku gamang, mataku berkaca-kaca. Hanya hitungan detik saja, hujan tumpah dari mataku.

Malam pekat semakin membuatku merasa sepi. Masih tanpa Aji. Sesak kemarin kini berganti menjadi rasa takut yang mendalam. Aku takut jika gosip itu benar. Apalagi sudah sebulan Aji menghilang tanpa kabar. Jika benar Aji menikah. Aku hanya bisa menerima walau begitu pahit. Aku sadar ini mungkin karena aku tak bisa memberinya anak. 
Kringgg…Kriiiingg..... bunyi telpon dari ruang tamu.
Aku menyeka air mata lalu bergegas ke ruang tamu. Aku sontak kaget, suara itu mirip suara Aji. Benar. ya itu memang suara Aji. Setelah sebulan menghilang, Aji akhirnya menghubungiku. Mungkin Aji sudah tidak marah lagi kepadaku dan akan meminta maaf karena pergi untuk waktu yang lama dan tanpa kabar. Aku senang. Sungguh sangat senang mendengar suara Aji. 

Tidak…ini tidak mungkin terjadi. Aku kaget mendengarnya. Aku menghela nafas begitu panjang lalu meminta Aji memperjelas kembali ucapannya. Bukan rindu, Aji tidak bicara soal itu. Aji malah meminta ijin kepadaku untuk menikah besok. Wanita yang hendak dinikahinya sedang mengandung anak Aji. Entah apa yang harus kulakukan. Aku juga tak bisa meminta cerai tiba-tiba. Dan meninggalkan Umming dan anak-anak Aji begitu saja. Aku juga tak bisa menolak kemauan Aji. Wanita itu sudah mengandung anaknya. Sakit. Pedih. Aku bergeming, hening. Tanpa angin, tanpa mendung. Hujan tumpah begitu saja dari mataku. Aku terluka sangat dalam.
*

Tak terasa, anak tertua Aji, alfian, Akan menikah hari ini. Tak terasa pula lima tahun sejak kepergian Aji dengan keluarga barunya. Ada kabar beliau merantau ke pulau bagian timur negeriku. Entah Aji akan hadir di pernikahan anaknya atau tidak. Tak ada kabar untuk itu. Alfian juga tak pernah menyinggung tentang bapaknya. Dia akan diam atau pergi begitu saja jika ada yang membahas tentang bapaknya. Aku pernah meminta Alfian untuk menghubungi Aji. Tapi dia menampik. Dia menolak tegas pintaku.  Hatinya seolah sudah tertutup untuk bapaknya. Bagaimana tidak, Aji pergi begitu saja meninggalkan anak-anaknya. Menelantarkan aku dan ibunya. Untung saja, bisnis gorong-gorong milik Aji mampu aku jalankan. Ya, lima tahun aku beserta anak-anaknya bekerja sebagai pembuat gorong-gorong. Kami juga tak mampu mempekerjakan orang lain, penghasilan hanya cukup untuk kami berdelapan. Aku, Umming dan anak-anak Aji.

Pesta perjamuan cukup ramai. Tetamu dari keluarga kedua mempelai sudah datang. Riuh musik terus menghibur. Tapi, aku sedikit terusik dengan lagu yang didendangkan. Lagu itu jelas menyinggung kehidupanku. Seorang wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya. Demi Alfian. Demi kebahagian Alfian, aku menjaga kesedihan itu. 

Seorang wanita dengan pakaian yang sederhana berjalan masuk menuju pelaminan sambil menggandeng seorang balita. Tak ada yang mengenalinya. Baik dari keluargaku atau keluarga mempelai wanita. Orang-orang heran. Saling berbisik, “Siapa wanita itu?”.  Kami masih terus bertanya-tanya. Mata kami tetap jaga menatapnya. Tak lama kemudian muncul sosok yang tak asing di mataku. Umming  yang tadi bingung kini beringsut menuju laki-laki itu. Tanpa Tanya, tanpa kata, Umming langsung memeluknya begitu erat. Itu Aji. Ya, itu Aji beserta istri dan anaknya. Aku senang melihat Aji  hadir di pernikahan Alfian. Kuakui sedikit pahit kurasakan karena kehadiran istri dan buah hatinya.

Kulihat wajah Alfian memerah. Matanya nanar menatap Aji. Lalu menggeser wajahnya, kemudian menatapku terseduh. Namun, aku membalas tatapan itu dengan sisa senyum yang kupunya. Aku tak mau kebahagian Alfian berubah jadi tangis-pedih karenaku. Aku paham, Alfian mengerti perasaanku. Tapi, sudah sejak dulu, sudah sejak kepergian Aji, Aku telah memasrahkan hidupku kepada Tuhan. Ini jalan yang harus kulalui. Aku yang memilih masuk ke dalam lika-liku hidup ini. Dan aku juga yang harus menanggunggnya. Aku terus tersenyum menyambut keluarga kami yang telah kembali.
*** 
Pangkep, Januari 2014

Share:

0 comments:

Post a Comment